Refleksi Peran Transformatif HMI, Oleh M. Noval Pratama

  • Whatsapp

HMI turut memelihara kesinambungan tradisi intelektual muslim dari generasi ke generasi selama 76 tahun. Perjalanannya seperti yang telah ditunjukkan para tokoh-tokohnya selama ini, dari generasi pertama intelektual HMI di awal kelahirannya pada tahun 1947 yang diwakili Lafran Pane, HMS. Mintaredia, Ahmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwihardjo dan Deliar Noer turun ke generasi

sesudahnya seperti Sulastomo, Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Endang Saifuddin Anshari, Amien Rais hingga ke generasi HMI berikutnya ke generasi tahun 1980-1990 an.

Bacaan Lainnya

Saat ini tantangan HMI semakin berat dikarenakan ada beberapa yang menjadi catatan untuk masa yang akan datang diantaranya Pertama, yang harus dijawab oleh generasi HMI sekarang adalah bagaimana tradisi intelektual dapat dipertahankan, dikembangkan dan melakukan pembaharuan seperti yang ditunjukkan oleh generasi terdahulu HMI. HMI dikenal sebagai bagian dari golongan pembaharu yang gagasan pemikirannya berkaitan erat dengan social contex keumatan dan kebangsaan yang dihadapinya.

Mulai dari kelahirannya yang merupakan respon spirit nasionalisme pendiri HMI atas perjuangan revolusi fisik dalam menghadapi kolonialisme Belanda pada tahun 1947 serta mendirikan wadah untuk berhimpun bagi mahasiswa Islam, respon menguatnya komunisme hingga respon kalangan intelektual Islam termasuk HMI atas sikap keras pemerintah Orde Baru yang menolak Islam politik. Respon inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai sikap transformatif ketika perjuangan

politik umat tidak lagi harus menjadikan partai politik sebagai saluran tunggalnya akan tetapi dapat dikembangkan dalam medan-medan perjuangan yang lain seperti dakwah, pendidikan, organisasi, dan profesi-profesi lainnya.

Kedua, mempertahankan dan mengembangkan perjuangan HMI. HMI harus mampu menjawab tantangan zaman ditengah-tengah dunia yang semakin mengglobal dan bergerak cepat. HMI harus mampu melahirkan terobosan dan mengembangkan ide-ide kreatif untuk kemajuan bangsa dan negara. HMI harus mampu melahirkan bukan hanya pemimpin politik namun juga pemikir, pengusaha dan kalanganprofesional termasuk ahli-ahli teknologi informasi yang diera saat ini perannya juga sangat dibutuhkan. Saya percaya HMI mampu mengemban amanah itu sama seperti kepercayaan saya melihat HMI sebagai salah satu organisasi pemasok kepemimpinan bangsa.

Ketiga, HMI haruslah mampu menjadi organisasi transformatif masyarakat bangsa dan negara dengan mensinergikan gagasan keislaman dan keindonesiaan. Gagasan ini terdengar klasik dan sudah diperbincangkan jauh sebelum Indonesia merdeka, namun jika dikorelasikan dengan kondisi global saat ini tentu pemikiran keislaman dan kebangsaan akan tetap relevan. Gagasan ini menurut saya adalah pemikiran Islam inklusif yang telah dikemukakan tokoh-tokoh muslim generasi terlebih dahulu diantaranya Agus Salim, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, KH Wahid Hasyim yang makin menemukan bentuknya ketika mantan Ketua Umum PB HMI, Nurcholis Madjid mengemukakan pemikirannya dalam dua momen penting yakni pada tanggal 2 Januari 1970 saat silaturahmi dengan ormas-ormas kepemudaan/ kemahasiswaan Islam dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dan satu bulan kemudian dalam Dies Natalies ke 23 HMI 5 Februari 1971 berjudul “Menuju Pembaharuan Pemikiran dalam Islam.”

Mahasiswa Islam Indonesia sebagai generasi muda bangsa yang sadar akan hak dan kewajibannya serta peranan dan tanggung jawab kepada nusa dan bangsa bertekad memberikan darma baktinya untuk mewujudkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Khikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan serta mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT.

Penekanan pada Pemikiran Keislaman dan Kebangsaan yang inklusif menjadi salah satu kekuatan HMI yang apabila dilihat dengan fenomena global belakangan ini tentu sangat relevan. Pemikiran Keislaman dan Kebangsaan menjadikan HMI menemukan pijakan kuatnya untuk tetap eksis berkiprah puluhan tahun dan menyambungkan gagasan Islam dan nasionalisme yang dikembangkan para cendikiawan muslim, Founding Fathers sebelum Indonesia merdeka, bersambung terus hingga menjadi warisan/ legesi untuk generasi saat ini.

Keempat, selain kekuatan Pemikiran Keislaman dan Keindonesiaan HMI seperti yang telah saya kemukakan diatas, tantangan lain yang tak kalah pentingnya untuk dijawab adalah konsolidasi organisasi mulai dari struktur organisasi, jaringan dan yang terpenting kaderisasi sebagai jantungnya organisasi-organisasi perkaderan seperti HMI.

Sudah saatnya kader-kader HMI merevitalisasi HMI menjadi kekuatan baru untuk menampilkan HMI yang lebih segar dalam pemikiran dan kiprah perjuangannya. HMI harus mengambil kembali semangat perjuangan para pendiri organisasi di tahun 1947 dengan segala bentuk idealismenya. HMI harus memperhatikan kaderisasi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tanpa kaderisasi sulit bagi HMI untuk menjadi lebih baik dari generasi-generasi pendahulunya, tapi saya yakin kader-kader HMI sekarang mampu mengemban amanah perjuangan itu.

Oleh karena itu dengan melihat kekayaan khasanah pemikiran dan perjuangan HMI wajar bila banyak pakar tertarik mengkaji HMI dari beberapi aspek diantaranya sejarah, kepemimpinan, tokoh-tokohnya hingga ke tradisi Pemikiran Keislaman dan Kebangsaan.

*Penulis adalah Kader HMI Komisariat Fakultas Syariah dan HUKUM UINSU.

Pos terkait