TERITORIAL24.COM, SERDANGBEDAGAI – Rencana Eksekusi Pengosongan Rumah Makan Simpang Tiga Perbaungan di kelurahan Simpang Tiga Pekan Kecamatan Perbaungan oleh Pengadilan Negeri Sei Rampah yang dijadwalkan pada tanggal 30 April 2025 mendatang, mendapat kecaman dari pihak pengusaha dan tim Kuasa Hukum Rumah Makan (RM) Simpang Tiga.
Saat dikonfirmasi pada Kamis (24/04/2025) siang sekira pukul 13.00 WIB, Salim selaku pengusaha menyatakan keberatan dengan rencana eksekusi oleh Pengadilan Negeri Sei Rampah karena diluar prosedur hukum dan mekanisme.
“Kami sudah menyewa lahan tersebut dari Koperasi Karyawan Adolina dari tahun 2000, dimana untuk perjanjian kontrak sudah dua kali dilakukan. Sekarang masih ada sisa kontrak 2 tahun yang belum dijalani karena kontrak berakhir pada tahun 2027 mendatang” ujar Salim
Mulai buka pada tahun 2001, kontrak pertama pengusaha RM. Simpang Tiga dengan koperasi memiliki durasi sewa selama 15 tahun, sedangkan kontrak sewa kedua berdurasi selama 12 tahun.
“Kita selama ini taat pajak, kita akan melakukan upaya hukum kepada pihak koperasi jika pelaksanaan ekseskusi tetap dilaksanakan, karena ada perjanjian atau klausul yang dilanggar secara sepihak” ujar Salim.
Sementara, Kuasa Hukum RM. Simpang Tiga, Muslim Muis, SH menilai rencana eksekusi yang akan dilakukan cacat hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia.
“Saat ini kita sedang melakukan upaya hukum luar biasa terhadap Pengadilan Negeri Sei Rampah Nomor : Jo. Nomor 3825 K/Pdt/2024 tanggal 17 Oktober 2024 yang diajukan oleh PTPN IV” sebut Muslim Muis.
Selanjutnya, pemohon eksekusi dianggap tidak memiliki kapasitas dalam mengajukan permohonan eksekusi (legitima persona standy in judicio) dikarenakan pemohon bukan lagi sebagai pemegang hak atas tanah rumah makan simpang tiga disebabkan HGU atas tanah tersebut telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2024.
“Kita melihat Pengadilan Sei Rampah terkesan berpihak dan mengabaikan aturan hukum terhadap eksekusi. Ada tahapan yang dilangkahi. Sehingga rencana eksekusi tanggal 30 April 2025 cacat secara hukum dan terlalu dipaksakan serta berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia” sambung Muslim Muis