TERITORIAL24.COM, TANJUNGBALAI – Dikenal dengan potensinya sebagai kota pelabuhan, kini mencatat sejarah kelam akibat kepemimpinan yang dinilai zalim. Krisis keuangan yang menimpa kota ini tidak hanya berdampak pada pembangunan, tetapi lebih menyakitkan lagi dirasakan oleh para pegawai honorer.
Mereka yang menjadi garda terdepan pelayanan publik, justru diperlakukan tidak adil, hingga berbulan-bulan tidak menerima gaji. Fenomena ini menjadi cerminan nyata dari buruknya tata kelola dan pengabaian terhadap hak-hak dasar rakyat.
Pegawai Honorer: Antara Pengabdian dan Penindasan
Pegawai honorer di Tanjungbalai telah lama menjadi tulang punggung birokrasi. Dengan gaji yang jauh dari layak, mereka tetap menjalankan tugas demi kelancaran pelayanan publik. Namun, selama kepemimpinan saat ini, pengorbanan mereka seakan diabaikan.
Sejak awal tahun, keterlambatan pembayaran gaji mulai dirasakan. Masalah yang awalnya dianggap sementara, berubah menjadi krisis berkepanjangan.
Berbulan-bulan mereka bekerja tanpa bayaran, dengan janji-janji yang terus diingkari. Kebutuhan hidup, seperti biaya pendidikan anak, pembayaran tagihan listrik, hingga kebutuhan pokok, semakin sulit terpenuhi.
Banyak dari pegawai honorer harus berutang untuk bertahan hidup. Ironisnya, pengabdian mereka yang tulus tidak mendapatkan apresiasi, melainkan justru dijadikan korban kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Kepemimpinan yang Haus Harta dan Kekuasaan Makin Menjadi-Jadi
Menjelang akhir tahun 2024, sejumlah pemimpin daerah tampak semakin rakus dan terang-terangan menunjukkan ambisi mereka untuk mengeruk kekayaan dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Alih-alih mengabdi kepada masyarakat, mereka memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri sendiri, meloloskan proyek-proyek bermasalah, hingga memperkuat kroni-kroni politik mereka.
Di tengah kekacauan ini, layanan publik menjadi korban utama. Pemotongan anggaran untuk rakyat terus terjadi demi memenuhi agenda pribadi.
Pengabaian terhadap pegawai honorer hanya mencerminkan ketidakpedulian mereka terhadap roda pemerintahan yang seharusnya melayani masyarakat. Bahkan, upaya untuk menyuarakan perubahan sering kali dibungkam dengan ancaman atau intimidasi.